Hotnews.web.id | Waykanan – Sugeng Purnomo Ketua Aliansi Jurnalis Persada Dalam sistem hukum modern, keadilan tidak hanya diukur dari seberapa berat hukuman dijatuhkan, tetapi juga dari seberapa cepat, sederhana, dan berkeadilan prosesnya dijalankan. Salah satu pendekatan yang kini semakin mendapat perhatian adalah restorative justice atau keadilan restoratif, sebuah model penyelesaian hukum yang lebih mengedepankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat dibandingkan sekadar memberikan hukuman.
Secara praktis, restorative justice menawarkan biaya penyelesaian yang jauh lebih rendah dibandingkan proses peradilan pidana konvensional. Proses hukum yang panjang di pengadilan sering kali menimbulkan beban biaya besar bagi semua pihak : dari biaya pengacara, ongkos persidangan, hingga biaya penahanan. Restorative justice, yang lebih bersifat musyawarah atau mediasi, dapat dilakukan di ruang-ruang komunitas, tanpa protokol rumit dan biaya tinggi.
Sebagaimana disebut dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, proses ini diperbolehkan dengan syarat tertentu, terutama untuk tindak pidana ringan, bukan kejahatan berat atau berulang, dan harus mendapat persetujuan dari korban serta tidak menimbulkan keresahan publik. Di sinilah hukum mempertemukan pendekatan formal dan nilai-nilai kearifan lokal.
Salah satu kekuatan utama pendekatan ini adalah fokus pada pemulihan. Korban tidak hanya menjadi saksi, melainkan bagian aktif dalam proses penyelesaian. Pelaku pun diajak menyadari kesalahan, meminta maaf, dan bertanggung jawab secara sosial. Komunitas juga dilibatkan, sehingga proses keadilan terasa hidup dan kontekstual.
Sebagai contoh, dalam kasus pencurian ringan atau penganiayaan ringan yang melibatkan nilai kerugian kecil dan bukan pengulangan, restorative justice memungkinkan penyelesaian secara damai dengan perjanjian ganti rugi atau permintaan maaf terbuka, yang jauh lebih manusiawi dan solutif dibandingkan pemidanaan berlarut-larut.
Namun tentu saja, restorative justice bukan solusi universal. Tindak pidana berat seperti pembunuhan, kekerasan seksual, atau korupsi tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme ini. Negara tetap perlu hadir dengan penegakan hukum yang tegas dalam kasus-kasus berat untuk menjaga efek jera dan keadilan publik.
Selain itu, pendekatan ini rawan disalahgunakan jika tidak ada pengawasan ketat. Dalam konteks ketimpangan kuasa atau ekonomi, bisa saja pelaku menyuap korban untuk menghindari proses hukum. Maka dari itu, penting adanya pendampingan dari aparat penegak hukum, pendamping hukum, dan fasilitator mediasi yang kredibel.
Restorative justice juga membuka ruang bagi budaya hukum berbasis kearifan lokal, seperti musyawarah adat atau forum warga. Hal ini sejalan dengan semangat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum—bukan sekadar negara dengan sistem peradilan yang kaku, tetapi juga negara yang mampu menyerap nilai keadilan dari masyarakatnya sendiri.
Restorative justice bukan hanya pendekatan hukum alternatif, tetapi juga cerminan cara berpikir baru dalam menyelesaikan konflik. Ia memberi ruang bagi penyelesaian yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan—dengan tetap menjunjung nilai keadilan substantif. Meski tak cocok untuk semua perkara, restorative justice patut terus dikembangkan sebagai bagian dari upaya membangun sistem hukum yang lebih humanis, efektif, dan berpihak kepada kepentingan masyarakat luas.
Sebagai jurnalis dan pegiat keadilan sosial, saya meyakini bahwa restorative justice harus dijaga integritasnya agar tidak menjadi jalan pintas impunitas, tetapi sungguh-sungguh menjadi sarana pemulihan dan perdamaian yang berkeadilan.
RIAN AW. ALL TIM